Menghitung Matematika Politik Uang
Oleh : Ridwan Saidi
Istilah money politik dalam dunia perpolitikan sudah tidak asing lagi.
Karena memang mayoritas konstituen (pemilih) masih senang kalo dibeli
oleh calon kepala daerah atau anggota dewan tertentu. Padahal jika
politik dianalogikakan seperti jual beli, maka pasti ada hukum untung
rugi. Maka jangan salahkan kalau ada kepala daerah atau anggota dewan
kejar setoran setelah terpilih.Memang sangat sulit untuk menerima
kenyataan untuk ikhlas dalam berpolitik. Karena dalam politik orang
cenderung ingin mendapatkan kekuasaan dan terkadang tanpa program kerja
dan visi yang jelas. Di sisil lain, konstituen tidak rela memberikan
suara kepada calon kepala daerah atau anggota dewan jika tidak
memberikan sejumlah uang yang hanya cukup untuk membeli sebungkus rokok
dan 2 liter beras, tanpa memperhatikan kualitas dan latar belakang orang
yang akan mereka pilih. Hal inilah yang membuat seseorang terjebak
dalam praktek buying politik (jual beli politik).
Calon kepala daerah
atau anggota dewan yang baik, menurut sebagain orang adalah yang royal
membagi-bagikan uang, padahal tidaklah demikian. Kita bisa ilustrasikan
jika seorang calon kepala daerah atau anggota dewan membagi-bagikan uang
sebesar Rp. 20.000 dikalikan 10.000 orang sudah mencapai 800 juta,
belum lagi kebutuhan logistik kampanye. Jika saja seseorang menghabiskan
dana sebesar 1 milyard hanya untuk menjadi anggota dewan tingkat kota
dengan pendapatan bersih rata-rata 20 juta, maka dia akan terkena
istilah besar pasak dari pada tiang. Dengan demikian seorang kepala
daerah atau anggota dewan ada yang melakukan praktek-praktek yang tidak
halal dengan cara korupsi.
Tanpa bermaksud kampanye, Pada tahun
2007, saya bertemu dengan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) Mantan Bupati
Belitung Timur yang sekarang dicalonkan oleh salah satu partai menjadi
Wakil Gubernur DKI Jakarta. Beliau menawarkan kepada saya agar menduduki
jabatan politik tertentu sebagai sarana dan alat untuk menopang
kegiatan sosial yang selama ini saya lakukan. Namun saya
mempertimbangkan pinangan beliau, karena saya merasa belum pantas untuk
menerimanya. Ada beberapa alasan yang saya kemukakan kenapa saya menolak
tawaran beliau :
- Pertama, saya bukanlah orang kaya yang mampu
membiayai proses pemungutan suara. Karena pada saat itu, menurut saya
biaya politik tidak mungkin terjangkau oleh orang seperti saya.
- Kedua, saya masih menganggap politik itu hanya mementingkan kekuasaan
pribadi dan golongan tertentu, tanpa memikirkan masyarakat banyak.
- Ketiga, saya khawatir ketika menduduki jabatan tertentu, justru akan
membuat saya lupa diri dan meninggalkan remaja yang selama ini saya
bina.
Mendengar alasan saya, Ahok pun hanya tersenyum, kemudian
beliau bercerita tentang proses politiknya sehingga sekarang ini.
“Memang politik itu butuh uang, tetapi caranya bukan dengan membeli
suara, kita harus bisa meyakinkan diri sendiri dan orang lain untuk hal
ini. Saya memang tergolong keluarga mampu di Bangka, dan keluarga kami
mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Tetapi kami tidak mungkin
membagi-bagikan uang setiap hari ke masyarakat, karena tentu akan habis.
Maka Bapak saya bilang kalo mau membantu orang banyak jadilah penguasa
yang adil dan mau berbagi. Sewaktu kampanye, saya tidak pernah
menjanjikan uang atau apapun, ketika ada club sepak bola yang meminta
kaos dan bola langsung saya suruh pulang. Di situlah saya berani keluar
dari zona biasa kebanyakan orang. Saya lebih konsen kepada program kerja
dengan menggratiskan sekolah dari tingkat SD sampai SMU dan biaya rumah
sakit gratis tanpa memandang status sosial dan ekonomi, semua gratis
dan itu telah saya lakukan semua. Mas Ridwan ada modal untuk itu,
meskipun tidak mempunyai banyak uang”.
Secara pribadi,
penjelasan Ahok membuat saya tersentuh. Karena bagaimana mungkin di
Belitung Timur yang mayoritas muslim masyumi memilih dia menjadi kepala
daerah yang berlatar belakang non Muslim dan dari ras yang berbeda. Dari
sinilah saya mendapatkan pelajaran berharga, bahwa jika seseorang ingin
mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau anggota Dewan dia harus
bercermin kepada kualitas, baik kualitas kerja visioner maupun kualitas
moral.
Jadi pada saat ini, yang kita butuhkan adalah figur
pemimpin yang mengerti masalah rakyat dengan mau membantu rakyat dalam
menyelesaikan permaslahan-permasalahannya, bukan pemimpin yang
mengandalkan nama besar, bertubuh besar dan kekar.
Masih adakah
pemimpin seperti itu?. Dalam setiap sejarah kehidupan manusia pasti ada
yang berani tampil membela dan memperjuangkan hak-hak orang lain,
jangan apatis. Maka yang diperlukan sekarang adalah sikap kritis dalam
memilih figur calon pemimpin. Mengetahui jejak rekamnya sebelum menjadi
pemimpin serta melihat sepak terjangnya, dan jangan lupa buat kontrak
tertulis yang berupa program kerja dan visinya ketika terpilih. Dengan
demikian kita sudah mulai belajar berpolitik dengan benar walau hanya
sebagai votter (pemilih). Jangan sampai karena sejumlah uang tidak
seberapa, kita menggadaikan masa depan daerah, negara dan bangsa lima
tahun ke depan bahkan seterusnya. Menurut saya, berpolitik adalah tugas
mulia jika dijalankan dengan etika dan estetika dengan tidak
mengorbankan orang lain. Kekuasaan bisa lebih hebat dari ibadah mahdah
(ibadah wajib yang telah ditentukan) nilai pahalanya jika diniatkan dan
dilakukan untuk masyarakat banyak, karena Rasul dan para sahabat adalah
seorang politisi dan pejabat negara selain tokoh agama.
Firmanzah, dalam tulisannya yang berjudul: Marketing Politik, Strategi
Alternatif partai Politik, menjelaskan bahwa di antara peran partai
politik adalah membentuk dan membangun reputasi politik dengan
berinteraksi dengan masyarakat dan mencari solusi tentang masalah yang
dihadapi secara konsisten dan bersifat laten. Dengan demikian masyarakat
tidak hanya dijadikan objek pada saat kampanye pemilihan saja.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberi sedikit gambaran kepada kita
semua bagaimana cerdas dalam mengikuti proses demokrasi di negeri ini.
Sehingga kita bisa mengidentifikasi para calon pemimpin kita ke depan
agar negeri kita menjadi negara yang disebut dalam Al-Quran Baldatun
thayyibatun wa Robbun Ghafuur (sebuah negeri yang sejahtera dan diridhai
oleh Allah SWT). Amin.
Incoming Search :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar